Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) merupakan sejenis kura-kura darat endemik Sulawesi. Pulau Sulawesi dengan bentuk seperti huruf "K” ini merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea dan merupakan pulau yang paling unik dan menarik dalam proses pembentukannya baik secara geologi maupun geografis.
Indotestudo forstenii pun menjadi istimewa karena langka, satwa endemik, dan satu dari tiga spesies yang ada dalam genusnya. Baning Sulawesi juga merupakan satu-satunya baning yang ditemukan di garis Wallacea dan terdistribusi dari Sulawesi Tengah hingga Sulawesi Utara.
Seperti diketahui, Indonesia mempunyai tiga kawasan biogeografi yaitu kawasan Sunda, Sahul, dan Wallacea. Bagian barat Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali termasuk dalam kawasan Sunda atau kawasan Oriental bersama wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara.
![]() |
Baning Sulawesi di perbukitan Lembah Palu, Sulawesi Tengah |
Kawasan biogeografi Sahul meliputi bagian timur Indonesia yaitu Papua dan kepulauan Aru. Sementara Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku membentuk kawasan biogeografi transisi antara Sunda dan Sahul, yang disebut sebagai Kawasan Wallacea dengan total luas daratan kurang lebih 347.000 km2. Sebagai kawasan transisi, wilayah ini mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi.
Baca juga : Bangsa Testudinata, Bangsa Reptil dengan Tempurung Keras
Sementara baning sendiri adalah jenis kura-kura yang mempunyai tempurung (karapas dan plastron) yang keras dan hidup di darat, tungkai teradaptasi untuk kehidupan di darat. Bila diperhatikan dengan saksama, bentuk tungkai baning menyerupai kaki binatang yang sangat besar dengan telinga lebar yaitu gajah. Baning Sumatera (Manouria emys) dan baning Sulawesi merupakan dua contoh kelompok ini yang ada di Indonesia.
![]() |
Baning Sulawesi diketahui kerap membuat lubang di tanah untuk tempat beristirahat |
Pulau Sulawesi merupakan daratan yang memiliki luas hingga 174.600 km2. Dan di pulau ini terdapat dua spesies kura-kura yang langka dan hanya terdapat di Sulawesi. Kedua spesies tersebut adalah Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) dan Kura-kura Hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi).
Spesies baning Sulawesi pertama kali dideskripsikan oleh Schlegel dan Muller pada tahun 1844 dengan nama Testudo forstenii dan lokasi tipe “Gilolo” atau Halmahera. Lokasi tipe dan persebaran di Halmahera ini awalnya menjadi perdebatan, karena hingga saat ini belum pernah ada laporan keberadaan kura-kura ini di Halmahera. Sebelum akhirnya oleh Kelompok Kerja Taksonomi Kura-kura (Turtle Taxonomy Working Group) pada tahun 2021, baning Sulawesi ditetapkan mempunyai sebaran terbatas hanya di Sulawesi saja.
Satwa ini menyebar di wilayah perbukitan Lembah Palu hingga sekitar Gorontalo. Baning Sulawesi dinamakan bantiluku oleh masyarakat etnis Kalili. Satwa ini dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Forsten’s Tortoise atau Sulawesi Tortoise. Baning Sulawesi ini hidup di dalam hutan di perbukitan Sulawesi Tengah hingga Sulawesi Utara.
Baning Sulawesi ini semula diduga oleh para ilmuwan terdiri atas beberapa spesies kriptik. Dugaan ini didasarkan pada variasi hadir tidaknya keping nuchal, hingga pada tahun 2008 dibuktikan oleh Ives, bahwa sesungguhnya satwa-satwa tersebut masih satu spesies.
![]() |
Baning Sulawesi tengah makan dedaunan muda |
Baning Sulawesi dapat ditemukan di hutan musim dan pamah campuran, termasuk daerah dengan dominasi tumbuhan kaktus di Lembah Palu. Baning Sulawesi itu punya ukuran tubuh terbilang mungil. Saat berusia dewasa, bobot tubuhnya sekitar 2,5 kilogram dengan ukuran 18-25 sentimeter.
Baca juga : Kura-kura, Reptil yang dapat Dipeliharaan Hidup Hingga Ratusan Tahun
Cangkangnya memiliki kombinasi warna hitam dengan garis tebal kekuningan atau campuran karamel dengan bercak hitam. Baning Sulawesi memiliki tempurung (karapas dan plastron) yang keras dan tungkai yang kuat untuk kehidupan di darat. Bentuk tungkai baning Sulawesi menyerupai kaki gajah yang besar.
![]() |
Tungkai Baning Sulawesi menyerupai kaki gajah yang besar |
Baning Sulawesi hidup di hutan perbukitan hingga ketinggian 200 meter di atas permukaan laut. Namun, satwa ini dapat dijumpai juga di perbukitan lembah Palu yang tandus yang dipenuhi Opuntia nigrican atau kaktus. Baning Sulawesi menyukai habitat dengan serasah, kayu tua yang rebah untuk tempat bersembunyi, dan kaktus.
Satwa ini diketahui kerap membuat lubang di tanah dan bekas cakaran untuk tempat beristirahat. Baning Sulawesi umumnya diurnal yakni aktif di siang hari dan tidur di malam hari, namun dapat menjadi krepuskular (aktif saat senja) tergantung suhu lingkungan. Baning Sulawesi merupakan hewan frugivora, yang berarti sebagian besar makan buah-buahan. Baning Sulawesi juga memakan daun, kaktus, rumput, cacing, dan siput.
Hasil monitoring yang dilakukan oleh Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) Sulawesi Tengah, pada tahun 2021 didapati bahwa tidak ada kelimpahan populasi spesies ini di alam liar. Bahkan berdasarkan data populasi yang ada, tingkat keterancamannya sangat tinggi. Satwa ini mengalami eksploitasi berlebihan dan nasibnya menjadi sangat terancam punah di alam.
Hal ini mungkin disebabkan oleh penampakan baning Sulawesi sangat menarik oleh karenanya menjadi komoditas perdagangan satwa untuk dijadikan hewan piaraan. Kini pemerintah telah menetapkan tidak ada lagi kuota pengambilan dari alam, sehingga diperjualbelikan hanya dari hasil produksi penangkaran.
![]() |
Tukik Baning Sulawesi yang baru menetas |
Selain perburuan, baning Sulawesi juga terancam kehilangan habitat aslinya. Hutan yang tadinya menjadi habitat baning Sulawesi yang telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan coklat sudah tidak ditemukan satupun individu. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hutan bukit Sologi di Semenanjung Santigi merupakan habitat yang tersisa.
Baca juga : Kura-kura Hutan Sulawesi, Kura-kura Paruh Betet yang Kian Langka
Sejak tahun 2009, baning Sulawesi termasuk dalam kategori terancam punah (Endangered) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan termasuk ke dalam Appendiks II oleh the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
![]() |
Tim monitoring Baning Sulawesi dari Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) Sulawesi Tengah |
Meski belum berstatus dilindungi di Indonesia, pemanfaatan satwa liar ini diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Aturan itu juga untuk melindungi satwa asli Sulawesi tersebut dari ancaman kepunahan. (Ramlee)
Sumber : remen.id
Baning Sulawesi, Kura-kura Darat Endemik Sulawesi yang Nasibnya Terancam Punah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar